Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 3]
Jumat, 3 November 2017

Bismillah.

Pada bagian sebelumnya telah kita bawakan ayat yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di bagian awal Kitab Tauhidnya, yaitu ayat dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Dimana ayat yang mulia ini berisi penjelasan tujuan penciptaan jin dan manusia; bahwa kita diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya.

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, ibadah menduduki posisi yang sangat agung di dalam agama. Karena ibadah kepada Allah merupakan hikmah dan tujuan penciptaan. Orang-orang yang mulia di sisi Allah adalah yang beribadah kepada-Nya dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Di sinilah kita perlu memahami dengan baik makna ibadah.

Secara bahasa ibadah berarti perendahan diri atau hina. Dalam bahasa arab ada ungkapan yang berbunyi ‘thariq mu’abbad’ atau ‘jalan yang diperhambakan’ alias jalan yang telah ditundukkan karena ia telah diinjak-injak banyak kaki manusia sehingga enak untuk dilewati.

Adapun secara syar’i ibadah adalah puncak perendahan diri yang dibarengi puncak kecintaan. Sehingga beribadah kepada Allah artinya seorang merendahkan dirinya serendah-rendahnya di hadapan Allah dan menjadikan Allah satu-satunya dzat yang paling dicintai-Nya; dimana kecintaan kepada-Nya tidak ditandingi oleh kecintaan kepada apa pun juga.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah memaparkan, “Ibadah kepada Allah jalla wa ‘ala mengandung dua makna yang sangat mendasar yaitu puncak perendahan diri dan puncak kecintaan. Bukan semata-mata perendahan diri yang tidak disertai kecintaan. Dan tidak juga kecintaan belaka yang tidak dibarengi dengan perendahan diri. Orang yang tunduk merendahkan diri kepada sesuatu tetapi tidak mencintainya maka dia tidaklah disebut beribadah kepadanya. Oleh sebab itu pengertian ibadah secara global adalah puncak perendahan diri yang disertai dengan puncak kecintaan…”

Beliau juga menjelaskan, “Demikian pula seorang insan mencintai istrinya, mencintai anak-anaknya, meskipun begitu dia tidak tunduk merendahkan diri kepada mereka. Maka tidak bisa dikatakan bahwa orang itu telah beribadah kepada mereka. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya ibadah itu adalah perpaduan antara puncak perendahan diri dengan puncak kecintaan.” (lihat Syarh Risalah al-‘Ubudiyah, hal. 26)

Konsekuensi dari dua hal ini -puncak perendahan diri dan puncak kecintaan- adalah dia akan tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang insan yang hanya mencukupkan diri dengan rasa cinta dan perendahan diri tanpa melakukan apa-apa yang diperintahkan Allah dan tanpa meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah tidak dianggap menjadi hamba yang beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu puncak kecintaan dan puncak perendahan diri itu mengharuskan kepatuhan dalam bentuk melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan begitu akan terwujud ibadah.” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 251)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu musyahadatul minnah -menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah- dan muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal -selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan-. Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba akan tumbuhlah kecintaan kepada-Nya. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Allah (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim al-Arna’uth)

Perpaduan antara sikap musyahadatul minnah dengan muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal ini bisa kita lihat di dalam rangkaian doa sayyidul istighfar pada kalimat yang berbunyi ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu’u bi dzanbii’ yang artinya, “Aku mengakui kepada-Mu atas segala nikmat dari-Mu kepadaku, dan aku pun mengakui atas segala dosaku.” (HR. Bukhari).

Di dalam ungkapan ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ terkandung sikap musyahadatul minnah; yaitu kita mempersaksikan akan sekian banyak nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita. Adapun di dalam ungkapan ‘abuu’u bi dzanbii’ terkandung sikap muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; yaitu terus-menerus memeriksa dan menyadari cacat pada diri dan amal-amal kita.

Dengan selalu mempersaksikan dan menyadari akan betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya kecuali berada dalam kondisi ‘bangkrut’. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Yaitu ketika dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan atau posisi dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga dia akan mengabdi kepada Allah melalui pintu perasaan fakir yang seutuhnya dan jiwa yang merasa dilanda kebangkrutan (lihat al-Wabil ash-Shayyib, bal. 7)

Dari keterangan di atas, kita bisa mengambil faidah bahwa sesungguhnya ibadah kepada Allah bukan semata-mata melakukan apa-apa yang Allah perintahkan atau menjauhi apa-apa yang Allah larang. Lebih dari itu, ibadah harus dibangun di atas sikap perendahan diri dan kecintaan sepenuhnya. Perendahan diri di hadapan Allah karena si hamba menyadari betapa banyak dosa dan pelanggaran yang telah dilakukan olehnya. Dan kecintaan sepenuhnya kepada Allah -yaitu kecintaan tertinggi- karena Allah lah yang telah melimpahkan kepadanya segala nikmat. Sementara perendahan diri dan kecintaan itu tumbuh dan berakar dari dalam hati.

Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa ibadah-ibadah hati menjadi pilar dan pondasi bagi amal-amal anggota badan. Pilar-pilar ibadah hati itu mencakup cinta, takut, dan harap. Karena hamba mencintai Rabbnya maka dia pun berharap kepada-Nya. Karena hamba mengagungkan dan merendahkan diri kepada Rabbnya maka dia pun takut akan murka-Nya. Dan yang paling mendasar diantara semua ibadah hati itu adalah cinta. Cinta inilah yang akan melahirkan perasaan takut dan harap di dalam diri seorang hamba. Karena cinta itulah dia akan tunduk kepada segala perintah dan larangan Rabbnya. Dan cinta yang dimaksud di sini adalah puncak kecintaan -yaitu kecintaan tertinggi- kepada Allah; kecintaan yang dibarengi dengan perendahan diri kepada-Nya.

Dengan kata lain, seorang hamba tidaklah dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila dia merendahkan dirinya kepada Allah, tidak merasa besar dan hebat di hadapan Allah ataupun di hadapan sesama. Oleh sebab itu diantara sifat hamba-hamba Allah itu adalah ‘berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati’ alias tidak sombong atau arogan.

Tidak dikatakan beribadah kepada Allah orang yang melakukan ketaatan secara fisik sementara hatinya tidak mencintai Allah dengan sepenuhnya, tidak takut kepada Allah, dan tidak berharap kepada-Nya. Karena itulah hakikat ketakwaan itu adalah ketakwaan yang benar-benar bersumber dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan lahiriah dengan anggota badan. Apa yang membedakan antara orang munafik dengan mukmin kalau bukan karena sesuatu yang ada di dalam hatinya?

Demikian sedikit catatan pelajaran dari keterangan para ulama yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini. Semoga bisa bermanfaat bagi kita dalam meningkatkan iman dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga salawat dan salam selalu tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Dan akhir seruan kami adalah segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

Penyusun : www.al-mubarok.com 

— 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-3/